Mengenal Lebih Dekat Sosok KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha)
Gus Baha (KH. Ahmad Bahauddin Nursalim) |
KH. Nursalim adalah murid dari KH. Arwani Al-Hafizh Kudus dan KH. Abdullah Salam Al-Hafizh Pati.
Dari silsilah keluarga ayah beliau inilah terhitung dari buyut beliau hingga generasi ke-empat kini merupakan ulama'-ulama' ahli Qur'an yang handal.
Silsilah keluarga dari garis ibu beliau merupakan silsilah keluarga besar ulama' Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang pesareannya ada di area Masjid Jami' Lasem, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Rembang.
Dalam ngaji rutinnya, yang kebanyakan berupa video-audio di Youtube, Gus Baha' mengaku memiliki keinginan diakhiri umurnya oleh Allah Swt. dalam kondisi yang bahagia, sederhana dan bahkan tidak dikenal oleh orang lain.
Takdir tidak bisa ditolak. Karena kealimannya, Gus Baha' populer tanpa manajemen media. Ratusan rekaman ngajinya diupload ulang oleh para Youtuber. Terang saja Gus Baha' tidak tahu-menahu soal hal itu. Hapenya saja bukan android, yang hanya bisa dibuat SMSan dan telponan saja.
Dulu, Gus Baha' tidak mau ada santri yang datang ke rumahnya di Narukan atas nama sowan. Kalau datang ke Narukan, kok sang santri punya keperluan ngaji, ia tolak tegas agar ikut ngajinya pas ada jadwal ngaji saja, di beberapa tempat yang tersebar di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Saat diminta mengisi acara pengajian umum di Menara Kudus 27 Ramadhan 1440 H lalu misalnya, bila tak ada alasan bagian dari keluarga Damaran Kudus (Nyai Hafshoh), Gus Baha' tidak akan bersedia mengisi pengajian yang dihadiri ribuan hadirin tersebut.
Atas nama keluarga dan ikatan satu sanad guru satu sanad ilmu, Gus Baha' baru bersedia menghadiri undangan ngaji publik. Ini pula yang diutarakan Gus Baha' saat bersedia ngaji di Ponpes Bumi Shalawat Sidoarjo, asuhan KH. Ali Masyhuri. Gus Baha' bersedia menjadi penceramah karena Gus Ali Mayshuri adalah sahabat akrab abahnya, KH. Nur Salim (Narukan).
Pada akhir Juni 2019 lalu, Gus Baha' juga menolak undangan pengajian sebuah acara Harlah Madrasah di Jepara, yang panitianya datang-sowan ke Narukan pinjam atas nama keluarga dari Mbah Hafsoh. Ia tolak halus dengan alasan; panitia dianggap memanfaatkan nama keluarganya "untuk memaksa mau datang".
Ketika di panggung pun, Gus Baha' tidak mau tampil seperti penceramah, yang biasanya diawali dengan muqaddimah panjang. Gus Baha' lebih suka menggunakan awalan "Al-Fatihah" seperti ketika ngaji kitab kuning bersama santri di beberapa lokasi rutinan ngaji bersamanya. Sebagaimana pula Gus Baha' lebih suka berpeci hitam dengan alasan, "sudah terbiasa mengikuti larangan peci putih bagi santri Sarang".
Di Sidoarjo, Gus Baha' sempat diminta memakai rida' (surban) putih oleh Gus Ali Masyhuri. Karena tidak terbiasa, ia memakainya sebentar, lalu dicopot. "Tidak terbiasa," katanya. Kealiman Gus Baha' yang diakui oleh Habib Quraish Shihab itu tersembunyi di balik kesederhanaan Gus Baha' yang memang sangat biasa saja, sebagaimana ia selalu menyarankan kepada para santrinya dengan kalimat "biasa-biasa saja" atas semua hal, menghadapi semua hal, alias jangan mudah kepincut (tergiur) dan gumunan (gampang heran dan kagetan).
Pengajian Gus Baha |
Proses Pendidikan
Gus Baha' kecil memulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan Al-Qur'an di bawah asuhan ayahnya sendiri.Hingga pada usia yang masih sangat belia, beliau telah mengkhatamkan Al-Qur'an beserta Qiro'ahnya dengan lisensi yang ketat dari ayah beliau. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam tajwid dan makhorijul huruf (GB, Feb '13).
Menginjak usia remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha' untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan.
Di Al Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam fan-fan ilmu Syari'at seperti Fiqih, Hadits dan Tafsir.
Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rois Fathul Mu'in dan Ketua Ma'arif di jajaran kepengurusan PP. Al Anwar.
Saat mondok di Al Anwar ini pula beliau mengkhatamkan hafalan Shohih Muslim lengkap dengan matan, rowi dan sanadnya.
Selain Shohih Muslim beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu'in dan kitab-kitab gramatika arab seperti 'Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik.
Menurut sebuah riwayat, dari sekian banyak hafalan beliau tersebut menjadikan beliau sebagai santri pertama Al Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak di era beliau.
Bahkan tiap-tiap musyawarah yang akan beliau ikuti akan serta merta ditolak oleh kawan-kawannya, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan beliau.
Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan kiainya.
Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan.
Mulai dari sekedar berbincang santai, hingga urusan mencari ta'bir dan menerima tamu-tamu ulama'-ulama' besar yang berkunjung ke Al Anwar.
Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair.
Pernah pada suatu ketika beliau dipanggil untuk mencarikan ta'bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina. Karena saking cepatnya ta'bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu dan ngendikan "Iyo ha'... Koe pancen cerdas tenan" (Iya ha'... Kamu memang benar-benar cerdas).
Selain itu Gus Baha' juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa'izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. "Santri tenan iku yo koyo baha' iku...." (Santri yang sebenarnya itu ya seperti baha' itu....) begitu kurang lebih ngendikan Syaikhina yang riwayatnya sampai ke penulis.
Dalam riwayat pendidikan beliau, semenjak kecil hingga beliau mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang, beliau hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu.
Pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada beliau untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi'iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.
Karakter dan Kepribadian
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang,beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik sehubungan dengan pernikahan beliau. Diriwayatkan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangan beliau hingga kini. Beliau mengutarakan bahwa kehidupan beliau bukanlah model kehidupan yang glamor, bahkan sangat sederhana.Beliau berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berfikir ulang atas rencana pernikahan tersebut.
Tentu maksud beliau agar mertuanya tidak kecewadi kemudian hari. Mertuanya hanya tersenyum dan menyatakan "klop" alias sami mawon kalih kulo.
Kesederhanaan beliau ini dibuktikan saat beliau berangkat keSidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya. Beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular alias bus biasa kelas ekonomi. Berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan. Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.
Beliau hidup sederhana bukan karena keluarga beliau miskin. Dari silslah keluarga beliau dari pihak ibu, atau lebih tepatnya lingkungan keluarga di mana beliau diasuh semenjak kecil,tiada satu keluargapun yang miskin.
Bahkan kakek beliau dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaan beliau, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur'an yang dipegang erat sejak zaman leluhurnya.
Bahkan salah satu wasiat dari ayahnya adalah agar beliau menghindari keinginan untuk menjadi 'manusia mulia' dari pandangan keumuman makhluk atau lingkungannya.
Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan beliau sehari-hari.
Setelah menikah beliau mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Beliau menetap di Yogyakarta sejak 2003. Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecil beliau, berpindah dari satu lokasi kelokasi lain. Semenjak beliau hijrah ke Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan induknya.
Hingga pada akhirnya mereka menyusul beliau ke Yogya danurunanatau patungan untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepada beliau.
Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorijin Al Anwar maupun MGS yang ikut beliau ke Yogya saatitu.
Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar beliau yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.
Pada tahun 2005 ayah beliau KH. Nursalim jatuh sakit. Beliau pulang sementara waktu untuk ikut merawat ayah beliau bersama keempat saudaranya.
Namun siapa sangka, beberapa bulan kemudian Kiai Nursalim wafat. Gus Baha' tidakdapat lagi meneruskan perjuangannya di Yogya sebab beliau diamanahi oleh ayah beliau untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan.
Banyak yang merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan.
Akhirnya para santri beliaupun.sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya.
Hingga pada gilirannya beliau bersedia namun hanya satu bulan sekali, dan itu berjalan hingga kini. Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan dirinya di Lembaga Tafsir Al-Qur'an Universitas Islam Indonesa (UII) Yogyakarta.
REPUTASI KEILMUAN Selain Yogyakarta beliau juga diminta untuk mengasuh PengajianTafsir Al-Qur'an di Bojonegoro, Jawa Timur.
Di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya.
Hal ini beliau jalani secara rutin sejak 2006 hingga kini.
Di UII beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII.
Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor dan ahli-ahli Al-Qur'an dari seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional yang lain.
Suatu kali beliau ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau tidak berkenan. Dalam jagat Tafsir Al-Qur'an di Indonesia beliau termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional yang berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar.
Meski demikian, kealiman dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli tafsir nasional.
Hingga pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai Mufassir, juga sebagai Mufassir Faqih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam Al-Qur'an. Setiap kali lajnah 'menggarap' tafsir dan Mushaf Al-Qur'an,
posisi beliau selalu di 2 keahlian, yakni sebagai Mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai Faqihul Qur'an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fiqh dalam ayat-ayat ahkam Al-Qur'an.